Menggali Makna Mendalam Perintah Pertama Allah: “Iqra’, Bacalah!”

Alby Zafr

Al-Qur'an
Lembaga Pendidikan Islam Tingkat Tinggi (Ma’had ‘Aly) yang mengajarkan Al-Qur’an, Tafsir dan ilmu syar’i lainnya berdasarkan pada pemahaman salafus sholih. (Mataqdarululum / Pixabay)

Makna Perintah Pertama Allah Iqra Bacalah – Membaca, sebuah perintah pertama Allah kepada Nabi Muhammad SAW, menjadi kunci utama bagi kebijaksanaan dan strategi agama yang luar biasa. Untuk memahami betapa pentingnya perintah ini, kita perlu membandingkan Umat Muhammad dengan umat-umat sebelumnya.

Allah menunjukkan kemukjizatan irasional kepada Fir’aun dan kaum Nabi Musa, seperti tongkat yang berubah menjadi ular. Nabi Isa diberikan kemampuan menghidupkan mati dan menyembuhkan penyakit, sementara Nabi Muhammad SAW menerima wahyu sebagai mukjizatnya. Rasulullah menyatakan bahwa keajaiban yang diberikan kepadanya adalah wahyu yang membimbing manusia dengan pemikiran rasional.

Mukjizat Nabi Muhammad tidak bersifat irasional, melainkan mengajak umatnya untuk beriman dengan akal dan berpikir rasional. Dalam konteks ini, perintah Allah untuk membaca menjadi kunci esensial:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajarkan manusia dengan perantaraan pena, dia juga mengajarkan kepada manusia apa yang tidak ia ketahui.”

Ayat ini tidak merinci bahan bacaan, melainkan menekankan proses membaca yang harus dimulai dengan pengakuan atas keberadaan Sang Pencipta. Proses membaca yang efektif adalah yang membawa pada keimanan kepada Allah. Hal ini menggarisbawahi bahwa bahan bacaan terbaik adalah al-Qur’an, sumber ilmu dan petunjuk yang berasal dari Sang Pencipta.

Membaca al-Qur’an bukan sekadar konsumsi informasi, melainkan penyerapan ilmu tertinggi yang dapat diperoleh manusia. Ini merupakan langkah untuk meningkatkan kualitas diri dengan nara sumber yang paling ideal. Terdapat empat level membaca al-Qur’an, masing-masing memberikan berkah dan manfaat yang semakin besar seiring naiknya level tersebut.

Dengan demikian, membaca al-Qur’an tidak hanya sebatas aktivitas literasi, melainkan merupakan perjalanan spiritual yang mendalam. Iqra’, bacalah, menjadi panggilan untuk menggali hikmah dan kearifan yang terkandung dalam ayat-ayat suci, membimbing umat Muhammad SAW menuju peningkatan kualitas diri yang tak terbatas.

Mencapai Puncak Spiritualitas dalam Membaca al-Qur’an: Level Pertama – Mengucapkan al-Qur’an dengan Kesempurnaan

Mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an dengan benar menjadi langkah pertama menuju puncak spiritualitas dalam membaca Kitab Suci. Rasulullah SAW, para sahabat, dan ulama memberikan perhatian mendalam terhadap keberhasilan mengucapkan kata-kata suci tersebut dengan baik dan tepat. Hal ini dikarenakan pengucapan yang benar merupakan bentuk ideal dari transfer informasi, dan kesalahan dalam pengucapan dapat berdampak negatif pada proses transformasi informasi.

Lafazh-lafazh ilahi dalam al-Qur’an tidak hanya mengandung informasi dan ajaran kebenaran serta keselamatan, tetapi juga memancarkan keindahan bahasa, keunggulan sastra, dan nuansa keagungan ilahi. Oleh karena itu, saat membaca al-Qur’an, sangat ditekankan untuk memperhatikan adab-adabnya. Ini melibatkan kondisi tubuh yang suci, pemakaian pakaian yang menutup aurat, membaca dengan khusyuk, memperindah suara seoptimal mungkin, dan memastikan penerapan tajwid.

Rasulullah SAW pernah menyampaikan pesan tentang pentingnya menghormati Kitab Suci ini dengan mengucapkannya dengan benar. Beliau bersabda, “Tidaklah seorang hamba pun yang membaca al-Qur’an dengan benar melainkan akan menjadi penghias surga baginya.” Pernyataan ini menekankan bahwa keberhasilan dalam mengucapkan al-Qur’an dengan baik akan menjadi pemanis surga bagi setiap individu.

Level pertama dalam membaca al-Qur’an bukan sekadar tugas teknis, melainkan sebuah perjalanan spiritual. Dengan memahami pentingnya mengucapkan lafazh-lafazh ilahi dengan kesempurnaan, umat Muslim diberikan kesempatan untuk mendekatkan diri pada kebenaran dan keagungan Allah melalui Kitab-Nya yang mulia.

“Perindahlah al-Qur’an dengan suara kalian.” (HR Abu Daud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Tahap Pertama, Kesempurnaan dalam Membaca dengan Sebaik-baiknya

Al-Qur’an, sebagai kalimat-kalimat yang berasal dari Allah yang Maha Indah, memancarkan keelokan yang luar biasa. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mencoba sebaik mungkin menerjemahkan keindahan ini melalui cara kita membaca. Namun, penting diingat bahwa ketidakmampuan mengucapkan al-Qur’an dengan fasih bukanlah alasan untuk tidak membacanya. Setiap mukmin diberikan kesempatan untuk berusaha sejauh kemampuannya.

Rasulullah SAW memberikan petunjuk yang sangat menginspirasi mengenai hal ini: “Orang yang mahir membaca al-Qur’an akan bersama-sama malaikat mulia yang berbakti. Sementara orang yang mengalami kesulitan dan terbata-bata dalam membacanya akan mendapatkan dua pahala.” (HR Muslim)

Kemurahan Allah yang luar biasa tercermin di sini. Bagi mereka yang merasa kesulitan dan terbata-bata dalam mengucapkan al-Qur’an, Allah memberikan dua pahala sekaligus. Yakni, pahala dari usaha membaca al-Qur’an dan pahala dari melewati kesulitan tersebut. Meskipun demikian, bagi mereka yang mahir membaca, ada keistimewaan tersendiri, yaitu kehormatan bersama para malaikat.

Baca Juga: Malaikat yang Bertugas Membagi Rezeki

Subhanallah, ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak hanya memperhatikan hasil akhir, melainkan juga usaha dan niat di baliknya. Dalam membaca al-Qur’an, setiap langkah adalah sebuah ikhtiar menuju kebenaran, dan Allah sangat menghargai setiap upaya yang tulus.

Tahap Kedua, Membaca al-Qur’an dengan Pemahaman yang Mendalam

Membaca al-Qur’an bukan hanya sebatas mengucapkan kata-kata suci, melainkan mencapai kedalaman pemahaman maknanya. Allah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan hal ini tidak dapat terwujud tanpa adanya pemahaman yang mendalam terhadap maknanya. Kitab suci bukanlah sekadar serangkaian kata yang diucapkan tanpa meresapi maknanya, melainkan sebuah petunjuk hidup yang harus dipahami.

Allah mengecam Ahlul Kitab yang memiliki kitab suci tetapi tidak memahami isinya. Firman-Nya menyiratkan bahwa keberadaan kitab suci tanpa pemahaman adalah tidak bermakna. Oleh karena itu, membaca al-Qur’an memerlukan tekad untuk meresapi dan memahami setiap kata yang terkandung di dalamnya.

Penting untuk memandang al-Qur’an bukan sebagai mantra yang diucapkan tanpa arti, melainkan sebagai sumber petunjuk yang harus dihayati maknanya. Proses membaca yang mendalam ini membutuhkan ketelitian, refleksi, dan kontemplasi terhadap ayat-ayat suci. Dengan begitu, al-Qur’an bukan hanya menjadi bacaan, melainkan juga pedoman yang memandu kehidupan sehari-hari dengan pemahaman yang mendalam.

وَ مِنۡهُمۡ اُمِّيُّوۡنَ لَا يَعۡلَمُوۡنَ الۡكِتٰبَ اِلَّاۤ اَمَانِىَّ وَاِنۡ هُمۡ اِلَّا يَظُنُّوۡنَ

“Wa minhum ummiyyuuna laa ya’lamuunal kitaaba illaaa amaaniyya wa in hum illaa yazunnuun”

Artinya: “Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak memahami Kitab (Taurat), kecuali hanya berangan-angan dan mereka hanya menduga-duga.” (QS.Al-Baqarah: 78).

Tahap Ke Tiga, Ahlul Kitab “Ummiyyin” yang Membaca tanpa Pemahaman

Allah merujuk kepada Ahlul Kitab sebagai “ummiyyin,” meskipun mereka memiliki kemampuan membaca dan menulis. Namun, karena kurangnya pemahaman terhadap Kitab Suci mereka, Allah menyebut mereka sebagai buta huruf. Beberapa pakar tafsir menyatakan bahwa kata “amani” dapat diartikan sebagai membaca. Dengan interpretasi ini, kita menyadari bahwa sekadar membaca tidak cukup untuk mendapatkan petunjuk jika kita tidak memahami dan mengetahui makna kalamullah.

Untuk memahami Al-Qur’an, tentu diperlukan studi bahasanya. Bagi yang tidak akrab dengan bahasa Arab, membaca terjemahan atau tafsir berbahasa Indonesia bisa menjadi alternatif sementara. Meski demikian, perlu diingat bahwa ketinggian bahasa Al-Qur’an tidak dapat sepenuhnya disampaikan melalui terjemahan ke dalam bahasa apapun. Terjemahan Al-Qur’an pada dasarnya hanyalah interpretasi dari pengertian penerjemahnya. Bahkan, penerjemah Al-Qur’an pun akan mengakui bahwa tidak semua makna dalam lafal-lafal Al-Qur’an dapat diterjemahkan dengan tepat ke dalam bahasa lain.

Langkah yang sedikit lebih baik dari sekadar terjemahan Al-Qur’an adalah membaca tafsir Al-Qur’an, terutama tafsir yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Mereka yang ingin memahami isi Al-Qur’an sebaiknya tidak melewatkan kitab-kitab tafsir. Bahkan orang yang ahli dalam bahasa Arab pun mungkin tidak akan memahami Al-Qur’an dengan tepat tanpa mempelajari tafsir. Ini karena, seperti halnya dengan semua bahasa hidup, makna kata-kata dapat berubah seiring waktu. Sebagai contoh, kata ‘sayyaroh’ saat ini berarti mobil, sementara dalam Al-Qur’an kata tersebut merujuk pada kafilah dagang. Begitu pula dengan kata ‘qoryah’ yang sekarang berarti desa, namun dalam Al-Qur’an artinya adalah kota atau negeri.

Kitab-kitab tafsir memiliki kualitas yang beragam sesuai dengan kedalaman ilmu penulisnya. Yang paling mendekati kebenaran adalah yang mendasarkan pemahamannya pada wahyu itu sendiri. Metode terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan Al-Qur’an itu sendiri, diikuti dengan Hadits Nabi, perkataan tabi’in, dan kaidah bahasa. Salah satu kitab tafsir yang paling mengikuti metode ini adalah Tafsir Ibnu Katsir.

Karena Al-Qur’an adalah kitab yang universal, setiap zaman memerlukan penafsiran yang mengaitkan Al-Qur’an dengan isu-isu kontemporer. Pada abad ke-19 dan ke-20, muncul tafsir-tafsir kontemporer seperti al-Manar oleh Rasyid Ridho, at-Tahrir wat-Tanwir oleh Ibnu Asyur, Adhwa-ul Bayan oleh Muhammad Amin asy-Syinqithy, dan yang fenomenal adalah Fi Zhilalil Qur’an oleh Sayyid Quthb.

Tahap Ketiga: Tadabbur Al-Qur’an – Mendalami Kandungan dengan Pemikiran Mendalam
Al-Qur’an, sebagai petunjuk ilahi, tidak hanya merangsang kegiatan otak manusia dalam pemahaman, namun juga mendorong untuk lebih dari sekadar memahami. Meskipun pemahaman Al-Qur’an pada tingkat tinggi merupakan pencapaian luar biasa, Allah mengajak umat-Nya untuk melangkah lebih jauh. Ada suatu dimensi yang lebih dalam yang disebut dengan tadabbur, yang berarti berpikir mendalam, merenungi, dan menggali makna yang tersembunyi di balik kata-kata-Nya.

Tadabbur melibatkan proses deep thinking, di mana hati dan akal bersinergi untuk menyelami hakikat-hakikat yang tersirat dalam Al-Qur’an. Kandungan Al-Qur’an tidak semuanya dapat dipahami secara langsung; banyak aspek yang memerlukan refleksi mendalam, perhatian yang intens, dan pengamatan yang tajam. Ini tidak dapat dicapai hanya dengan memahami lafal-lafal secara literal, karena banyak makna tersembunyi yang perlu ditemukan.

Allah dengan jelas menyatakan bahwa turunnya Al-Qur’an bertujuan agar manusia dapat mentadabburi ayat-ayat-Nya. Mentadabburi ini mencakup proses merenungi, menggali, dan memahami dengan lebih dalam makna yang terkandung dalam setiap ayat. Al-Qur’an bukan sekadar teks yang dapat dibaca, tetapi juga petunjuk hidup yang memerlukan pemikiran mendalam untuk menggali hikmah dan kebijaksanaan yang tersembunyi di dalamnya.

Sebagai seorang Muslim, tantangan sejati terletak pada kemampuan untuk melampaui sekadar pemahaman permukaan Al-Qur’an dan mengarahkan akal serta hati pada tingkat tadabbur, di mana cahaya ilahi dapat bersinar dengan lebih terang.

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad: 76).

Mendalami ayat-ayat Allah memerlukan kebersihan hati dan ketajaman pemikiran. Sebuah hati yang terhimpit oleh hawa nafsu tidak mampu melihat dengan jelas, karena hawa nafsu akan mendominasi dan menguasai hati, mengaburkan kejernihan pandangan.

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. al-Jatsiyah: 23).

Hanya hati-hati yang bersihlah yang mampu menangkap dan memahami keberadaan ayat-ayat Allah yang terserak di seluruh penjuru alam semesta.

اِنَّ فِىۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَاخۡتِلَافِ الَّيۡلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الۡاَلۡبَابِ

“Inna fii khalqis samaawati wal ardi wakhtilaafil laili wannahaari la Aayaatil liulil albaab”

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,” (QS. Ali Imran: 190).

Tahap Keempat, Mendalami dengan Khudhu’

Adapun puncak tertinggi dalam refleksi terhadap ayat-ayat Allah, apakah masih ada dimensi yang lebih tinggi dari tadabbur? Betul, al-Qur’an terus menggiring manusia untuk terbang lebih tinggi, melebur dalam keberkahan ilahi dengan hati yang penuh khudhu’. Jiwa seorang mukmin menghadirkan diri dalam alam yang dikelilingi oleh kemegahan ilahi, saksikan kebesaran Allah dengan hati yang tunduk.

Setelah hati mampu merenung keindahan di balik lapisan materi dunia, memahami hakikat di balik fenomena alam, ketika tirai spiritual terbuka, hati seorang mukmin yang tenggelam dalam tadabbur al-Qur’an menjadi luluh. Hati menunduk, terpana menghadap keagungan Allah. Setiap serat kulit bergetar, merasakan kebesaran Esensi Ilahi yang Mutlak.

اَللّٰهُ نَزَّلَ اَحۡسَنَ الۡحَدِيۡثِ كِتٰبًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِىَ ‌ۖ تَقۡشَعِرُّ مِنۡهُ جُلُوۡدُ الَّذِيۡنَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ‌ۚ ثُمَّ تَلِيۡنُ جُلُوۡدُهُمۡ وَقُلُوۡبُهُمۡ اِلٰى ذِكۡرِ اللّٰهِ‌ ؕ ذٰ لِكَ هُدَى اللّٰهِ يَهۡدِىۡ بِهٖ مَنۡ يَّشَآءُ‌ ؕ وَمَنۡ يُّضۡلِلِ اللّٰهُ فَمَا لَهٗ مِنۡ هَادٍ

“Allahu nazzala ahsanal-hadisi kitabam mutasyabiham masaniy(a), taqsya’irru minhu juludul-lazina yakhsyauna rabbahum, summa talinu juluduhum wa qulubuhum ila zikrillah(i), zalika hudallahi yahdi bihi may yasya'(u), wa may yudlilillahu fama lahu min had”

Artinya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memberi petunjuk.” (QS. az-Zumar: 23).

Individu yang hulu hatinya terisi dengan pengetahuan ilahi, mereka yang memiliki keteguhan dalam kedalaman ilmu, akan merendahkan diri dalam sujud. Mata mereka akan meluapkan air mata kesungguhan setiap kali disentuh oleh pengingat ayat-ayat Allah, dan setiap kali jiwa mereka disentuh oleh Kebenaran Ilahi yang Maha Absolut.

وَّيَقُوۡلُوۡنَ سُبۡحٰنَ رَبِّنَاۤ اِنۡ كَانَ وَعۡدُ رَبِّنَا لَمَفۡعُوۡلًا‏

“Wa yaquuluuna Subhaana Rabbinaaa in kaana wa’du Rabbinaa lamaf’uulaa”

Artinya: “dan mereka berkata, “Mahasuci Tuhan kami; sungguh, janji Tuhan kami pasti dipenuhi.”

وَيَخِرُّوۡنَ لِلۡاَذۡقَانِ يَبۡكُوۡنَ وَيَزِيۡدُهُمۡ خُشُوۡعًا ۩‏

“Wa yakhirruuna lil azqooni yabkuuna wa yaziiduhum khushuu’aa”

Artinya: “Dan mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.”

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, (108) dan mereka berkata: “Maha suci Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi”. (109) dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. al-Isra’: 108-109).

Sumber: Beragam sumber

“Artikel lainnya bisa kunjungi Google News saya.”

Bagikan:

Baca Juga